Selasa, 14 Januari 2014

jualbeli kredit dalam perspektif islam



BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar belakang
            Bila kita berbicara tentang masalah jual beli atau perdagangan maka tidak bisa lepas dari istilah Riba atau bung keuntungan sesuai dengan surat Al Baqarah ayat 275;

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275)
Artinya : ”orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.[1]
            Dalil di atas merupakan dalil nash yang menjadi dasar dalam masalah muamalah jenis ini, yang pada intinya bahwa islam melarang setiap tindakan pembungaan uang (riba). Akan tetapi jangan menganggap bahwa islam melarang perkreditan , pada sasarnya islam membolehkan perkreditan dalam dunia perdagangan. Apalagi di dalam masyarakat yang menganut sistem perekonomian modern sekarang ini, menuntut ada kredit dan pinjaman. Dibalik itu tentu masing-masing pihak ingin meraih keuntungan. Akan tetapi secara objektif keuntungan yang diperoleh dalam perdagangan tidak pernah melainkan senantiasa berubah-ubah setiap waktu apalagi perekonomian negara kurang stabil.
Berawal dari hal tersebut maka penulis pada kesempatan ini akan mengungkap yang berhubungan dengan sistem perkreditan yang ada dan berlaku di kita saat ini.


B. Rumusan masalah
            Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah  sebagai berikut:
1.    Pengertian jual beli kredit.
2.    Hukum jual beli kredit dalam islam.
3.    Fatwa ulama tentang jual beli kredit



























                                                                  BAB II
                                                          PEMBAHASAN

A.      Pengertian jual beli kredit ( pengkreditan)
Jual beli kredit berasal dari  kata yaitu jual beli dan kredit. Jual beli dalam pengertian istilah adalah pertukaran harta dengan harta untuk tujuan memiliki dengan ucapan ataupun perbuatan. Jual beli menurut pandangan Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma, dan qiyas adalah boleh.
Allah berfirman: “Allah menghalalkan jual beli”. (Al-Baqarah:275).
Semua ulama telah sepakat tentang masalah diperbolehkannya melakukan jual beli tersebut. Dalam jual beli terdapat beberapa syarat yang mempengaruhi sah tidaknya akad tersebut:
1.      Saling ridha.
2.      Orang yang melakukan akad adalah orang yang merdeka.
3.      Ada hak milik penuh.[2]
Dan kredit (sell or buy on credit/installment) dalam bahasa Arabnya disebut Bai’ bit Taqsith yang pengertiannya menurut istilah syari’ah, ialah menjual sesuatu dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu, dan lebih mahal daripada pembayaran kontan/tunai.[3] Kredit  berasal dari bahasa Yunani “ credere” yang berarti kepercayaan akan kebenaran dalam praktek sehari – hari.[4]  Kredit juga  berasal dari kata Itali, cedere yang berarti kepercayaan. Kepercayaan yang dimaksud di dalam perkreditan adalah antara si pemberi dan si penerima kredit. Kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang dan barang) dengan balas prestasi yang akan terjadi pada waktu mendatang.[5] Menurut istilah Kerdit adalah sesuatu yang dibayar secara berangsur-angsur baik itu jual beli maupun dalam pinjam meminjam. Misalnya, seorang membeli ke sebuah dealer dengan uang muka 10 % dan sisanya dibayar secara berangsur-angsur selama sekian tahun dan dibayar satu kali dalam sebulan. Kredit bisa juga terjadi pada seseorang yang meminjam uang ke bank atau koperasi, kemudian pinjaman tersebut dibayar berangsur-angsur, ada yang dibayar setiap hari, mingguan, dan ada pula yang dibayar satu kali dalam sebulan.
Menurut UU No. 7 Tahun 1992 tentang pokok-pokok Perbankan, pengertian kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjaman-pinjaman antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan. Bank yang berpedomannya adalah memperoleh hasil yang setinggi-tingginya dari uang yang dipinjamkan tanpa mempersoalkan penggu.naan kredit yang diberikannya.[6]
Sulit sekali ditetapkan keuntungan krdit-kredit yang berjangka amat pendek yang ditjukan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas usaha penawaran atas pinjam-meminjam jangka pendek ke dunia usaha.
Dalam sektor produksi, permintaan total akan kredit jangka pendek bergantung pada volume investasi jangka panjang dan meluasnya kredit perdagangan (kredit yang diberikan oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lainnya) sangat dominan. Kredit yang dibutuhkan untuk jangka waktu satu minggu atau satu bulan dapat diperkirakan pada tingkat makro. Dalam kasus pinjam-meminjam harus dijamin adanya pelunasan, yang pada akhirnya ditangani oleh negara. Jika yang meminjam benar-benar tidak mampu membayar, maka pelunasan juga dapat diambil dari dana yang terhimpun dari zakat.
 Menurut Anwar Iqbal Qureshi, fakta-fakta yang objektif menegaskan bahwa Islam melarang setiap pembungaan uang. Hal ini tidak berarti bahwa Islam melarang perkreditan sebab menurut Qureshi sistem perekonomian modern tidak akan lancar tanpa adanya kredit dan pinjaman.[7]

B.       Hukum   jual beli kredit
     Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum jual beli kredit yang ada pada zaman ini menjadi dua pendapat, yaitu :


1. Jual beli kredit di haramkan
Diantara yang berpendapat demikian dari kalangan ulama’ kontemporer adalah Imam Al Albani yang beliau cantumkan dalam banyak kitabnya, diantaranya Silsilah Ahadits Ash Shohihah 5/419-427 juga murid beliau Syaikh Salim Al Hilali dalam Mausu’ah Al Manahi Asy Syar’iyah 2/221 dan juga lainnya. Mereka berhujjah dengan beberapa dalil berikut :

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه و سلم : ” أنه نهى عن بيعتين في بيعة

Dari Abu Huroiroh dari Rosululloh bahwasannya beliau melarang dua transaksi jual beli dalam satu transaksi jual beli.”[8]
            Dalam riwayat lainnya dengan lafadl : “Barang siapa yang melakukan dua transaksi jual beli dalam satu transaksi jual beli, maka dia harus mengambil harga yang paling rendah, kalau tidak akan terjerumus pada riba.”[9]

      Tafsir dari larangan Rosululloh SAW “Dua transaksi jual beli dalam satu transaksi” adalah ucapan seorang penjual atau pembeli : “Barang ini kalau tunai harganya segini sedangkan kalau kredit maka harganya segitu.”
            Mengenai penjualan kredit dengan penambahan harga, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani  juga mengatakan  :
Barangsiapa menjual dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan, maka baginya (harga,-pent) yang paling sedikit atau (kalau tidak mau, maka harga yang lebih tinggi adalah, -pent) riba[10]
            Imam Ibnu Qutaibah juga menerangkannya dengan (keterangan) ini, beliau berkata di dalam “Gharib Al-Hadits (I/18) : “Diantara jual beli yang terlarang (ialah) dua syarat (harga) dalam satu penjualan, yaitu (misalnya) seseorang membeli barang seharga dua dinar jika temponya dua bulan, dan seharga tiga dinar jika temponya tiga bulan. Itulah makna “dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan.”
            Dan  juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/393), dan ini juga merupakan riwayat Ibnu Hibban (1112) (dari Ibnu Mas’ud,-pent) dengan lafazh : “Tidak patut dua akad jual-beli di dalam satu akad jual-beli (menurut lafazh Ibnu Hibban : Tidak halal dua akad jual beli) dan sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Allah melaknat pemakan (riba) [Pemakan riba adalah orang yang mengambilnya walaupun tidak makan, diungkapkan dengan makan karena makan adalah kegunaan terbesar dari riba dan karena riba itu umumnya seputar makanan. Pemberi makan riba adalah orang yang memberikan riba kepada orang yang mengambilnya, walaupun yang mengambil tadi tidak memakannya,”.Dengan sanadnya juga shahih.
            Sufyan Ats-Tsauri,  Mengatakan bahwa, jika engkau berkata : “Aku menjual kepadamu dengan kontan (seharga) sekian, dan dengan tidak kontan (seharga) sekian dan sekian”, kemudian pembeli membawanya pergi, maka dia berhak memilih di antara dua (harga) penjualan tadi, selama belum terjadi keputusan jual-beli atas salah satu harga. Dan jika telah terjadi jual-beli seperti ini, maka itu adala dibenci.Itulah “dua penjualan di dalam satu penjualan”, dan itu tertolak serta terlarang. Maka jika engkau mendapati barangmu masih utuh, engkau dapat mengambil harga yang paling rendah dan waktu yang lebih lama. [11]
            Dari sini, maka dapat disimpulkan bahwa ucapan seseorang : “Saya jual barang ini padamu kalau kontan harganya sekian dan kalau ditunda pembayarannya harganya sekian.” Adalah sistem jual beli yang saat ini dikenal dengan nama jual beli kredit. [12]
Sebagian fuqoha’ juga tidak memperbolehkan jual beli secara kredit, mereka beralasan bahwa penambahan harga itu berkaitan dengan masalah waktu, dan hal itu tidak ada bedanya dengan riba. Pendapat lain juga mengatakan bahwa menaikkan harga diatas yang sebenarnya adalah mendekati dengan riba nasi’ah yaitu harga tambahan, maka itu jelas dilarang Allah Swt.
Mereka berpendapat bahwa setiap pinjaman yang diembel-embeli dengan tambahan, maka ia adalah riba. Jadi, standarisasi dalam setiap urusan adalah terletak pada tujuan-tujuannya. Contohnya: Seseorang memerlukan sebuah motor, lalu datang kepada pedagang yang tidak memilikinya, seraya berkata, “ saya memerlukan motor yang begini dan begini”. Lantas pedagang pergi dan membelinya, kemudian menjual kepadanya secara kredit dengan harga yang lebih banyak. Tidak dapat disangkal lagi, bahwa ini adalah bentuk pengelabuan, tersebut karena si pedagang mau membelinya hanya karena permintaannya dan bukan membelikan untuknya karena kasihan terhadapnya tetapi karena demi mendapatkan keuntungan, seakan dia meminjamkan harganya kepada orang secara riba.[13]

2. Jual beli kredit diperbolehkan
Adapun pendapat  jumhur ahli fiqh yang memperbolehkannya, seperti mazhab Hanafi, Syafi’i, Zaid bin Ali, Al Muayyad Billah bahwa jual beli yang pembayarannya di tangguhkan dan ada penambahan harga dari penjual karena penangguhan adalah sah, karena menurut mereka penangguhan itu adalah harga, karena mereka melihat dari dalil umum yang membolehkan, dan nash yang mengharamkannya tidak ada, yang terpenting adalah penambahan harga pada penangguhan tersebut adalah harga yang pantas dan sewajarnya, dan tidak adanya unsur pemaksaan dan dholim.[14] Adapun ayat yang juga berhubungan dengan masalah kredit adalah surat Al-Baqarah ayat 282 :

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.[15]
            Namun para ulama ketika membolehkan jual-beli secara kredit, dengan ketentuan selama pihak penjual dan pembeli mengikuti  kaidah dan syarat-syarat keabsahannya sebagai berikut:
1. Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan pembeli. 
2. Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingg  terhindar dari parktik bai’ gharar “bisnis penipuan”.
3.  Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan lantaran pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh pada praktik riba.
4.    Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli dengan cara menaikkan harga terlalu tinggi melebihi harga pasar yang berlaku, agar tidak termasuk kategori bai’ muththarr ‘jual-beli dengan terpaksa” yang dikecam Nabi Saw.[16]
Firman Alloh Ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” [17]
Keumuman ayat ini mencakup jual beli kontan dan kredit, maka selagi jual beli kredit dilakukan dengan suka sama suka maka masuk dalam apa yang diperbolehkan dalam ayat ini.
Hadits Rosululloh SAW  :
عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما قال : قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة والناس يسلفون في الثمر العام والعامين فقال : من سلف في تمر فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم

Artinya:  Dari Abdulloh bin Abbas berkata : “Rosululloh dartang ke kota Madinah, dan saat itu penduduk Madinah melakukan jual beli buah-buahan dengan cara salam dalam jangka satu atau dua tahun, maka beliau bersabda : “Barang siapa yang jual beli salam maka hendaklah dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas sampai waktu yang jelas.” [18]
            Pengambilan dalil dari hadits ini, bahwa Rosululloh membolehkan jual beli salam asalkan takaran dan timbangan serta waktu pembayarannya jelas, padahal biasanya dalam jual beli salam uang untuk membeli itu lebih sedikit daripada kalau beli langsung ada barangnya. Maka begitu pula dengan jual beli kredit yang merupakan kebalikannya yaitu barang dahulu dan uang belakangan meskipun lebih banyak dari harga kontan.
Hadits Bariroh :
عن عائشة رضي الله عنهه قالت : أن بريرة جاءت عائشة تستعينها في كتابتها ولم تكن قضت من كتابتها شيئا فقالت لها عائشة : ارجعي إلى أهلك فإن أحبوا أن أقضي عنك كتابتك ويكون ولاؤك لي فعلت, فذكرت ذلك بريرة لأهلها فأبوا وقالوا إن شاءت أن تحتسب عليك فلتفعل ويكون لنا ولاؤك فذكرت ذلك لرسول الله صلى الله عليه وسلم فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم : ابتاعي فأعتقي فإنما الولاء لمن أعتق ثم قام رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال ما بال أناس يشترطون شروطا ليست في كتاب الله من اشترط شرطا ليس في كتاب الله فليس له وان شرط مائة مرة شرط الله أحق وأوثق
Artinya: “Dari Aisyah berkata : “Sesungguhnya Bariroh datang kepadanya minta tolong untuk pelunasan tebusannya, sedangkan dia belum membayarnya sama sekali, Maka Aisyah berkata padanya : “Pulanglah ke keluargamu, kalau mereka ingin agar saya bayar tebusanmu namun wala’mu menjadi milikku maka akan saya lakukan.” Maka Bariroh menyebutkan hal ini pada mereka, namun mereka enggan melakukannya, malah mereka berkata : “Kalau Aisyah berkehendak untuk membebaskanmu dengan hanya mengharapkan pahala saja, maka bisa saja dia lakukan, namun wala’mu tetap pada kami.” Maka Aisyah pun menyebutkan hal ini pada Rosululloh dan beliu pun bersabda : “Belilah dia dan merdekakanlah karena wala’ itu kepunyaan yang memerdekakan.”
Dalam sebuah riwayat yang lain : “Bariroh berkata : “Saya menebus diriku dengan membayar 9 uqiyah, setiap tahun saya membayar satu uqiyah.”[19]
Segi pengambilan dalil : Dalam hadist ini jelas bahwa Bariroh membayarnya dengan mengkredit karena dia membayar sembilan uqiyah yang dibayar selama sembilan tahun, satu tahunnya sebanyak satu uqiyah.
Dalil Ijma’
Sebagian Ulama’ mengklaim bahwa dibolehkannya jual beli dengan kredit dengan perbedaan harga adalah kesepakatan para ulama’. Di antara mereka adalah :
a.        Syaikh Bin Baz,
            Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz Rahimahullah, ketika ditanya tentang hukum membeli sekarung gula dan semisalnya dengan harga 150 Riyal SA sampai suatu waktu (dengan kredit,-pent) dan ia senilai 100 Riyal secara kontan, maka beliau menjawab :
            “Sesungguhnya Mu’amalah ini tidaklah mengapa, karena menjual secara kontan berbeda dari menjual secara kredit dan kaum muslimin terus menerus melakukan mu’amalah seperti ini. Ini adalah Ijma’ (kesepakatan) dari mereka tentang bolehnya. Dan telah syadz (ganjil/bersendirian) sebagian ulama, bila ia melarang adanya tambahan disebabkan karena (tambahan) waktu sehingga ia menyangka hal tersebut adalah bagian dari riba. Ia adalah pendapat tidak ada sisinya, bahkan tidaklah (hal tersebut) termasuk riba sama sekali karena seorang pedagang ketika ia menjual barang sampai suatu waktu (dengan kredit), ia menyetujui adanya penangguhan hanyalah karena ia mengambil manfaat dengan tambahan (harga) dan si pembeli rela adanya tambahan karena ada pengunduran dan karena ketidakmampuannya untuk menyerahkan harga secara kontan maka keduanya mengambil manfaat dengan mu’amalah ini dan telah tsabit (pasti/tetap) dari Nabi shollallahu ‘alahi wa sallam sesuatu yang menunjukkan bolehnya hal tersebut…”. [20]

b. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
            Beliau ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki seekor kuda yang dia beli dengan harga 180 Dirham, lalu seseorang memintanya dengan harga 300 Dirham dalam jangka waktu (pembayaran) tiga bulan; apakah hal tersebut halal baginya.
Beliau menjawab : “Al-Hamdulillah, Apabila ia membelinya untuk diambil manfaatnya atau untuk ia perdagangkan maka tidaklah mengapa menjualnya sampai suatu waktu (dengan kredit,-pent). Akan tetapi janganlah ia mengambil keuntungan dari orang yang butuh kecuali dengan keuntungan yang wajar. Jangan ia menambah (harga) karena daruratnya (karena ia sangat membutuhkannya,-pent.). [Adapun kalau ia butuh dirham lalu membelinya (kuda tersebut, -pent.) untuk ia jual pada saat itu juga dan ia mengambil harganya maka ini adalah makruh menurut (pendapat) yang paling zhohir dari dua pendapat ulama](1)”. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil bolehnya hal tersebut berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah dan Al-Ijma’.[21]

c. Syaikh Muhammad Sholih Al Utsaimin 
Beliau berkata dalam Al Mudayanah hal : 4 :
“Macam-macam hutang piutang :
·         seseorang membutuhkan untuk membeli barang namun dia tidak mempunyai uang kontan, maka dia membelinya dengan pembayaran tertunda dalam tempo tertentu namun dengan adanya tambahan harga dari harga kontan. Ini diperbolehkan. Misalnya : Seseorang membeli rumah untuk ditempati atau untuk disewakan seharga 10.000 real sampai tahun depan, yang mana seandainya dijual kontan akan seharga 9.000 real, atau seseorang membeli mobil baik untuk dipakai sendiri atau disewakan seharga 10.000 real sampai tahun depan, yang mana harga kontannya adalah 9.000 real. Masalah ini tercakup dalam firman Alloh Ta’ala :

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian berhutang piutang sampai waktu tertentu, maka catatlah.”[22]
·       
                    Seseorang membeli barang dengan pembayaran tertunda sampai waktu tertentu dengan tujuan untuk memperdagangkannya. Misal seseorang membeli gandum dengan pembayaran tertunda dan lebih banyak dari harga kontan untuk menjualnya lagi ke luar negeri atau untuk menunggu naiknya harga atau lainnya, maka ini diperbolehkan karena juga tercakup dalam ayat terdahulu. Dan telah berkata Syaikhul islam Ibnu Taimiyah tentang dua bentuk ini adalah diperbolehkan berdasarkan Al Kitab, as sunnah dan kesepakatan ulama’ (4) (Lihat Majmu’ Fatawa 29/499).”

d. Ibnu Rusdy
            Beliau memberi contoh jual beli sistem kredit (bai’u al-ajal) seperti: seorang menjual barang dengan harga tertentu sampai masa tertentu, kemudian ia membelinya kembali dengan harga lain sampai masa tertentu yang lain lagi, atau dengan harga kontan. Sehubungan dengan adanya perubahan waktu itu harga bisa berubah. Ia membelinya dengan cash (kontan) sebelum masanya dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang sebenarnya, atau membelinya dengan harga yang telah jauh dari pada masa tersebut dan dengan harga yang lebih besar dari pada yang sebenarnya. [23]

Dalil qiyas
Sebagaimana yang telah lewat bahwasannya jual beli kredit ini dikiaskan dengan jual beli salam yang dengan tegas diperbolehkan Rosululloh, karena ada persamaan, yaitu sama-sama tertunda. hanya saja jual beli salam barangnya yang tertunda, sedangkan kredit uangnya yang tertunda. Juga dalam jual beli salam tidak sama dengan harga kontan seperti kredit juga hanya bedanya salam lebih murah sedangkan kredit lebih mahal.

Dalil Maslahat
Jual beli kedit ini mengandung maslahat baik bagi penjual maupun bagi pembeli. Karena pembeli bisa mengambil keuntungan dengan ringannya pembayaran karena bisa diangsur dalam jangka waktu tertentu dan penjual bisa mengambil keuntungan dengan naiknya harga, dan ini tidak bertentangan dengan tujuan syariat yang memang didasarkan pada kemaslahatan ummat. Berkata Syaikh Bin Baz disela-sela jawaban beliau mengenai jual beli kredit :
“Karena seorang pedagang yang menjual barangnya secara berjangka pembayarannya setuju dengan cara tersebut sebab ia akan mendapatkan tambahan harga dengan penundaan tersebut. Sementara pembeli senang karena pembayarannya diperlambat dan karena ia tidak mampu mambayar kontan , sehingga keduanya mendapatkan keuntungan.” [24]

C.      Fatwa para ulama’ seputar jual beli kredit
Ini adalah nukilan pendapat fuqoha’ madhab empat juga para ulama’ kontemporer mengenai masalah ini :
1.      Fiqh Hanafiyah
Harga bisa dinaikkan karena penundaan waktu. Penjualan kontan dengan kredit tidak bisa disamakan. Karena yang ada pada saat ini lebih bernilai dari pada yang belum ada. Pembayaran kontan lebih baik dari pada pembayaran berjangka.[25]
 Dalam Hasyiyah Ibnu Abidin 5/142 : “Bisa saja harga ditambahkan karena penundaan pembayaran.”[26]
2.      Fiqh Malikiyah
            Berkata Imam Asy Syathibi :
Penundaan salah satu alat tukar bisa menyebabkan pertambahan harga.” [27]
            Imam Az Zarqoni menegaskan :
“Karena perputaran waktu memang memiliki bagian nilai, sedikit atau banyak, tentu berbeda pula nilainya. [28]
3.      Fiqh Syafi’iyah
            Imam Asy Syirozi berkata :
“Kalau seseorang membeli sesuatu dengan pembayaran tertunda, tidak perlu diberitahu harga kontannya, karena penundaan pembayaran memang memiliki nilai tersendiri.”[29]
4.      Fiqh Hanbali
            Imam Ibnu Taimiyah berkata :
“Putaran waktu memang memiliki jatah harga.” [30]
            Lajnah Daimah tatkala ditanya tentang seseorang yang menjual mobil dengan sistem kredit yang dengan tertundanya pembayaran akan ada tambahan harga, namun juga akan semakin bertambah dengan semakin mundurnya pembayaran dari waktu yang telah ditentukan. Apakah transaksi ini boleh ataukah tidak ?
Jawab :
Jika menjual mobil tersebut dengan sistem kredit, dilakukan dengan harga yang jelas, sampai waktu yang jelas, yang tidak ditambah harga lagi kalau membayarnya lebih dari batas waktu yang ditentukan, maka transaksi itu tidak mengapa. Sebagaimana firman Alloh Ta’ala : “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian berhutang sampai waktu tertentu, maka tulislah.” Juga yang telah shohih dari Rosululloh bahwasannya beliau pernah membeli sesuatu sampai waktu tertentu. Adapun kalau si kreditor itu harus menambah harga apabila terlambat membayarnya dari waktu yang ditentukan, maka hal ini tidak diperbolehkan dengan kesepakatan ummat islam, karena itulah riba jahiliah yang dilarang oleh Al Qur’an, yaitu ucapan mereka kepada yang berhutang padanya : “Kamu mungkin bisa melunasi hutang itu atau kamu tambah lagi bayarannya.[31]
            Beberapa hal yang berkaitan dengan jual beli kredit, Ada beberapa hal yang erat kaitannya dengan jual beli kredit, kita sebutkan yang kami anggap paling penting : Jual beli kredit harus dengan barang dan harga yang jelas serta waktu pembayaran yangjelas.
Sebagaimana nash Rosululloh dalam masalah salam :
“Barang siapa yang jual beli salam maka hendaklah dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas sampai waktu yang jelas.”[32]
            Kalau tidak ada kejelasan dalam sistem kredit, maka transaksi menjadi haram karena ada unsur jahalah (ketidak jelasan dalam sebuah transaksi).
BAB III
                                                          PENUTUP 

A.      Kesimpulan
            Jual beli kredit berasal dari  kata yaitu jual beli dan kredit. Jual beli dalam pengertian istilah adalah pertukaran harta dengan harta untuk tujuan memiliki dengan ucapan ataupun perbuatan. Dan kredit (sell or buy on credit/installment) dalam bahasa Arabnya disebut Bai’ bit Taqsith yang pengertiannya menurut istilah syari’ah, ialah menjual sesuatu dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu, dan lebih mahal daripada pembayaran kontan/tunai. Kredit  berasal dari bahasa Yunani “ credere” yang berarti kepercayaan akan kebenaran dalam praktek sehari – hari.  Kredit juga  berasal dari kata Itali, cedere yang berarti kepercayaan. Menurut UU No. 7 Tahun 1992 tentang pokok-pokok Perbankan, pengertian kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjaman-pinjaman antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan. Bank yang berpedomannya adalah memperoleh hasil yang setinggi-tingginya dari uang yang dipinjamkan tanpa mempersoalkan penggunaan kredit yang diberikannya.
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum jual beli kredit yang ada pada zaman ini menjadi dua pendapat, yaitu : jual beli kredit yang diharamkan, didukung dari pendapat dari kalangan ulama’ kontemporer adalah Imam Al Albani yang beliau cantumkan dalam banyak kitabnya, diantaranya Silsilah Ahadits Ash Shohihah 5/419-427 juga murid beliau Syaikh Salim Al Hilali dalam Mausu’ah Al Manahi Asy Syar’iyah 2/221 dan juga lainnya. Dan jual beli yang dibolehkan pendapat  jumhur ahli fiqh yang memperbolehkannya, seperti mazhab Hanafi, Syafi’i, Zaid bin Ali, Al Muayyad Billah bahwa jual beli yang pembayarannya di tangguhkan dan ada penambahan harga dari penjual karena penangguhan adalah sah, karena menurut mereka penangguhan itu adalah harga, karena mereka melihat dari dalil umum yang membolehkan, dan nash yang mengharamkannya tidak ada, yang terpenting adalah penambahan harga pada penangguhan tersebut adalah harga yang pantas dan sewajarnya, dan tidak adanya unsur pemaksaan dan dholim.



                                            DAFTAR PUSTAKA

            Al-Qur’an dan terjemahannya.
Al-Fauzan, Saleh, Fiqh Sehari-Hari, Gema Insani: Jakarta, 2006.
            Ali Hasan, M., Masail Fiqhiyah: Zakat. Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Ahmkamul Ba’I disusun oleh Syaikh Jarulloh hal : 58, yang diambil dari http://jacksite.wordpress.com/2007/06/19/hukum-jual-beli-kredit-dalam-islam/  
Aibak, Kutbuddin, Kajian fiqh kontemporer, Yogyakarta: teras, 2009, hlm. 216. Dilihat dari  http://cupitakyt.blogspot.com/2013/05/masailul-fiqhliyah-kredit-dan-bunga-bank.html.
            Anwar Iqbal Qureshi, Islam dan Teori Pembungaan Uang, Tintamas: Jakarta, 1985.
Al Majmu An Nawawi 13/16, diambil melalui http://adh-dhuhaa-bjacks.blogspot.com/.
Badai’ush Shona’I 5/18, yang diambil dari http://jacksite.wordpress.com/2007/06/19/hukum-jual-beli-kredit-dalam-islam/  
Hasyiyah Az Zarqoni 3/165, diambil melalui http://adh-dhuhaa-bjacks.blogspot.com/.
http://imdad-gresik.blogspot.com/2010/07/hukum-kredit-dan-kartu-kredit-menurut.html.
http://jacksite.wordpress.com/2007/06/19/hukum-jual-beli-kredit-dalam-islam/.
Fatwa Lajnah Daimah 13/154, http://adh-dhuhaa-bjacks.blogspot.com/.  
Majmu’ Fatawa 19/449, diambil melalui http://adh-dhuhaa-bjacks.blogspot.com/.
Malik Bin Anas, Muwathta’ jilid 4,.......
Rusdy, Ibnu,  Bidayatul Mujtahid, terj. M. A. Abdurrahman, A. Haris Abdullah ,Semarang: CV. Asy-Syifa, 1990
Simorangkir, O.P.,  Pengantar Lembaga Keuangan Bank Dan Non Bank, Cet. II, Bogor: Ghalia, 2004.
S.P. Hasibuan, Malayu,  Dasar-Dasar Perbankan, Cet. VI, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007.
     Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali, 2010.
Syarah Majalah al-Ahkam, no 157, vol III/110, Majallah asy-Syari’ah wad Dirasah Al-Islamiyah, Fak Syari’ah, Kuwait University, edisi VII, Sya’ban 1407, hal. 140, Al-Maurid, hal. 354, Lisanul ‘Arab, vol VII/377-378, melalui artikel di situs Eramuslim.com.
            Tafsir Al Qurthubi, jilid 3.


[1] QS. Al Baqarah, 2 : 275.
[2] Saleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-Hari, Gema Insani: Jakarta, 2006, hlm.
[3] Syarah Majalah al-Ahkam, no 157, vol III/110, Majallah asy-Syari’ah wad Dirasah Al-Islamiyah, Fak Syari’ah, Kuwait University, edisi VII, Sya’ban 1407, hal. 140, Al-Maurid, hal. 354, Lisanul ‘Arab, vol VII/377-378, melalui artikel di situs Eramuslim.com.
[4] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Rajawali, 2010), hlm. 299.
[5] O.P. Simorangkir, Pengantar Lembaga Keuangan Bank Dan Non Bank, Cet. II (Bogor: Ghalia, 2004), hal. 100. Malayu S.P. Hasibuan, Dasar-Dasar Perbankan, Cet. VI (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), hal. 87.
                [6]Ibid, hal. 101. Menurut Thomas Suyatno, 1998, menjelaskan bahwa Kredit adalah penyediaan uang, atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara bank dan lain pihak dalam hal, pihak peminjam berkewajiban untuk mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam beserta bunganya sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan pendapat lain menyatakan kredit bank adalah semua realisasi pemberian kredit dalam bentuk rupiah maupun valuta asing kepada pihak ketiga serta pembelian surat berharga. Sedangkan dalam terminologi Indonesia, kredit diartikan sebagai pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur. http://jacksite.wordpress.com/2007/06/19/hukum-jual-beli-kredit-dalam-islam/.
                [7] Anwar Iqbal Qureshi, Islam dan Teori Pembungaan Uang, Tintamas: Jakarta, 1985,
[8] (HR. Turmudli 1331, Nasa’I 7/29, Amad 2/432, Ibnu Hibban 4973 dengan sanad hasan).
[9] HR. Abu Dawud 3461, Hakim 2/45 dengan sanad hasan.
[10] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam "Al-Mushannaf (VI/120/502)", Abu Daud dari Ibnu Abi Syaibah (no. 3461), Ibnu Hibban di dalam "Shahihnya (1110)", Al-Hakim (II/45), dan Al-Baihaqi (V/343) kesemuanya meriwayatkan bawha telah becerita kepada kami Ibnu Abi Zaidah dari Muhammad bin Amir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah secara marfu, sanadnya hasan, bahkan telah dishahihkan oleh Al-Hakim, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, juga oleh Ibnu Hazm di dalam "Al-Muhalla (IX/16). Juga diriwayatkan oleh An-Nasa'i (VII/296, cetakan baru), At-Tirmidzi (I/232), dia menshahihkannya, Ibnul Jarud (286), Ibnu Hibban (1109), Al-Baghawi di dalam "Syarh As-Sunnah (VIII/142/211)", ia juga menshahihkannya, Ahmad (II/342, 375, 503) dan Al-Baihaqi dari beberapa jalan dari Muhammad bin Amr dengan lafazh : "Beliau melarang dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan" diambil dari http://jacksite.wordpress.com/.
[11]Diriwayatkan oleh Abdur Razaq (14632) dari Sufyan Ats-Tsauri.
[12] http://imdad-gresik.blogspot.com/2010/07/hukum-kredit-dan-kartu-kredit-menurut.html.
[13] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah: Zakat. Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 172.
[14] . Ali Hasan, Masail Fiqhiyah: Zakat. Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, hlm.169
                [15]Ibnu Abbas menjelaskan : “Ayat ini diturunkan berkaitan dengan jual beli As Salam (3) saja.”
Imam Al Qurthubi menerangkan :
“Artinya, kebiasaan masyarakat Madinah melakukan jual beli salam adalah penyebab turunnya ayat ini, namun kemudian ayat ini berlaku untuk segala bentuk pinjam meminjam berdasarkan ijma’ ulama’.” Lihat Tafsir Al Qurthubi 3/243.

[16] Kutbuddin Aibak, Kajian fiqh kontemporer, Yogyakarta: teras, 2009, hlm. 216. Dilihat dari  http://cupitakyt.blogspot.com/2013/05/masailul-fiqhliyah-kredit-dan-bunga-bank.html.
[17] QS. An Nisa’ : 29.
[18] HR. Bukhori 2241, Muslim 1604.
[19]  HR. Bukhori 2169, Muslim 1504
                [20] Dinukil dari kitab Min Ahkamil Fiqhil Islamy Karya ‘Abdullah Al-Jarullah hal. 57-58 dengan perantara Bai’ut Taqsith karya Hisyam Alu Burgusy, melalui http://dayahdi.blogspot.com/.
[21] Dari Majmu’ Al-Fatawa 29/501, melalui http://dayahdi.blogspot.com/.

[22] QS. Al Baqoroh : 282.
[23] Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid, terj. M. A. Abdurrahman, A. Haris Abdullah (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1990), hal. 32-37,  Jilid: III.
[24]Ahmkamul Ba’I disusun oleh Syaikh Jarulloh hal : 58, yang diambil dari http://jacksite.wordpress.com/2007/06/19/hukum-jual-beli-kredit-dalam-islam/  
[25] Lihat Badai’ush Shona’I 5/18, yang diambil dari http://jacksite.wordpress.com/2007/06/19/hukum-jual-beli-kredit-dalam-islam/  
[26] http://adh-dhuhaa-bjacks.blogspot.com/.
[27]Malik Bin Anas, Muwathta’ jilid 4, hlm. 41.
[28] Lihat Hasyiyah Az Zarqoni 3/165, diambil melalui http://adh-dhuhaa-bjacks.blogspot.com/.
[29] Lihat Al Majmu An Nawawi 13/16, diambil melalui http://adh-dhuhaa-bjacks.blogspot.com/.
[30]Majmu’ Fatawa 19/449, diambil melalui http://adh-dhuhaa-bjacks.blogspot.com/.
[31]Lihat Fatwa Lajnah Daimah 13/154, http://adh-dhuhaa-bjacks.blogspot.com/.  
[32] HR. Bukhori 2241, Muslim 1604