BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Bila kita berbicara tentang masalah
jual beli atau perdagangan maka tidak bisa lepas dari istilah Riba atau bung
keuntungan sesuai dengan surat Al Baqarah ayat 275;
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا
يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ
قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا
سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ
هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275)
Artinya : ”orang-orang yang Makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.[1]
Dalil di atas merupakan dalil nash
yang menjadi dasar dalam masalah muamalah jenis ini, yang pada intinya bahwa
islam melarang setiap tindakan pembungaan uang (riba). Akan tetapi jangan
menganggap bahwa islam melarang perkreditan , pada sasarnya islam membolehkan
perkreditan dalam dunia perdagangan. Apalagi di dalam masyarakat yang menganut
sistem perekonomian modern sekarang ini, menuntut ada kredit dan pinjaman.
Dibalik itu tentu masing-masing pihak ingin meraih keuntungan. Akan tetapi
secara objektif keuntungan yang diperoleh dalam perdagangan tidak pernah
melainkan senantiasa berubah-ubah setiap waktu apalagi perekonomian negara
kurang stabil.
Berawal dari hal tersebut maka penulis pada kesempatan ini akan mengungkap yang berhubungan dengan sistem perkreditan yang ada dan berlaku di kita saat ini.
Berawal dari hal tersebut maka penulis pada kesempatan ini akan mengungkap yang berhubungan dengan sistem perkreditan yang ada dan berlaku di kita saat ini.
B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1.
Pengertian
jual beli kredit.
2.
Hukum
jual beli kredit dalam islam.
3.
Fatwa
ulama tentang jual beli kredit
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian jual beli kredit ( pengkreditan)
Jual beli kredit berasal dari kata yaitu jual beli dan kredit. Jual beli dalam pengertian istilah adalah pertukaran harta dengan harta
untuk tujuan memiliki dengan ucapan ataupun perbuatan. Jual beli menurut
pandangan Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma, dan qiyas adalah boleh.
Allah berfirman: “Allah menghalalkan jual beli”. (Al-Baqarah:275).
Semua ulama telah
sepakat tentang masalah diperbolehkannya melakukan jual beli tersebut. Dalam
jual beli terdapat beberapa syarat yang mempengaruhi sah tidaknya akad
tersebut:
1. Saling ridha.
2. Orang yang melakukan
akad adalah orang yang merdeka.
3. Ada hak milik penuh.[2]
Dan kredit (sell or buy on
credit/installment) dalam bahasa Arabnya disebut Bai’ bit Taqsith yang
pengertiannya menurut istilah syari’ah, ialah menjual sesuatu dengan pembayaran
yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu, dan lebih mahal
daripada pembayaran kontan/tunai.[3]
Kredit berasal dari bahasa Yunani “ credere” yang berarti kepercayaan akan
kebenaran dalam praktek sehari – hari.[4] Kredit juga
berasal dari kata Itali, cedere yang
berarti kepercayaan. Kepercayaan yang dimaksud di dalam perkreditan adalah
antara si pemberi dan si penerima kredit. Kredit adalah pemberian prestasi
(misalnya uang dan barang) dengan balas prestasi yang akan terjadi pada waktu
mendatang.[5]
Menurut istilah Kerdit adalah sesuatu
yang dibayar secara berangsur-angsur baik itu jual beli maupun dalam pinjam
meminjam. Misalnya, seorang membeli ke sebuah dealer dengan uang muka 10 % dan
sisanya dibayar secara berangsur-angsur selama sekian tahun dan dibayar satu
kali dalam sebulan. Kredit bisa juga terjadi pada seseorang yang meminjam uang
ke bank atau koperasi, kemudian pinjaman tersebut dibayar berangsur-angsur, ada
yang dibayar setiap hari, mingguan, dan ada pula yang dibayar satu kali dalam
sebulan.
Menurut UU No. 7 Tahun 1992 tentang pokok-pokok Perbankan, pengertian
kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjaman-pinjaman antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil
keuntungan. Bank yang berpedomannya adalah memperoleh hasil yang
setinggi-tingginya dari uang yang dipinjamkan tanpa mempersoalkan penggu.naan
kredit yang diberikannya.[6]
Sulit sekali ditetapkan
keuntungan krdit-kredit yang berjangka amat pendek yang ditjukan untuk memenuhi
kebutuhan likuiditas usaha penawaran atas pinjam-meminjam jangka pendek ke dunia
usaha.
Dalam sektor produksi,
permintaan total akan kredit jangka pendek bergantung pada volume investasi
jangka panjang dan meluasnya kredit perdagangan (kredit yang diberikan oleh
suatu perusahaan kepada perusahaan lainnya) sangat dominan. Kredit yang dibutuhkan
untuk jangka waktu satu minggu atau satu bulan dapat diperkirakan pada tingkat
makro. Dalam kasus pinjam-meminjam harus dijamin adanya pelunasan, yang pada
akhirnya ditangani oleh negara. Jika yang meminjam benar-benar tidak mampu
membayar, maka pelunasan juga dapat diambil dari dana yang terhimpun dari
zakat.
Menurut Anwar
Iqbal Qureshi, fakta-fakta yang objektif menegaskan bahwa Islam melarang setiap
pembungaan uang. Hal ini tidak berarti bahwa Islam melarang perkreditan sebab
menurut Qureshi sistem perekonomian modern tidak akan lancar tanpa adanya
kredit dan pinjaman.[7]
B.
Hukum jual beli kredit
Para
ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum jual beli kredit yang ada pada zaman ini
menjadi dua pendapat, yaitu :
1. Jual beli kredit di haramkan
Diantara yang berpendapat demikian dari kalangan
ulama’ kontemporer adalah Imam Al Albani yang beliau cantumkan dalam
banyak kitabnya, diantaranya Silsilah Ahadits Ash Shohihah 5/419-427 juga murid
beliau Syaikh Salim Al Hilali dalam Mausu’ah Al Manahi Asy Syar’iyah
2/221 dan juga lainnya. Mereka berhujjah dengan beberapa dalil berikut :
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن
رسول الله صلى الله عليه و سلم : ” أنه نهى عن بيعتين في بيعة
Dari Abu Huroiroh dari Rosululloh bahwasannya beliau
melarang dua transaksi jual beli dalam satu transaksi jual beli.”[8]
Dalam riwayat lainnya dengan lafadl : “Barang siapa yang melakukan dua transaksi
jual beli dalam satu transaksi jual beli, maka dia harus mengambil harga yang
paling rendah, kalau tidak akan terjerumus pada riba.”[9]
Tafsir
dari larangan Rosululloh SAW “Dua transaksi jual beli dalam satu transaksi”
adalah ucapan seorang penjual atau pembeli : “Barang ini kalau tunai harganya
segini sedangkan kalau kredit maka harganya segitu.”
Mengenai penjualan kredit dengan penambahan
harga, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
juga mengatakan :
”Barangsiapa menjual dua (harga) penjualan di
dalam satu penjualan, maka baginya (harga,-pent) yang paling sedikit atau
(kalau tidak mau, maka harga yang lebih tinggi adalah, -pent) riba”
[10]
Imam Ibnu Qutaibah
juga menerangkannya dengan (keterangan) ini, beliau berkata di dalam “Gharib
Al-Hadits (I/18) : “Diantara jual beli yang terlarang (ialah) dua
syarat (harga) dalam satu penjualan, yaitu (misalnya) seseorang membeli barang
seharga dua dinar jika temponya dua bulan, dan seharga tiga dinar jika temponya
tiga bulan. Itulah makna “dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan.”
Dan juga
diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/393), dan ini juga merupakan riwayat Ibnu
Hibban (1112) (dari Ibnu Mas’ud,-pent) dengan lafazh : “Tidak
patut dua akad jual-beli di dalam satu akad jual-beli (menurut lafazh Ibnu
Hibban : Tidak halal dua akad jual beli) dan sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Allah melaknat pemakan (riba)
[Pemakan riba adalah orang yang mengambilnya walaupun tidak makan, diungkapkan
dengan makan karena makan adalah kegunaan terbesar dari riba dan karena riba
itu umumnya seputar makanan. Pemberi makan riba adalah orang yang memberikan
riba kepada orang yang mengambilnya, walaupun yang mengambil tadi tidak
memakannya,”.Dengan sanadnya juga shahih.
Sufyan Ats-Tsauri, Mengatakan bahwa, jika engkau berkata : “Aku
menjual kepadamu dengan kontan (seharga) sekian, dan dengan tidak kontan
(seharga) sekian dan sekian”, kemudian pembeli membawanya pergi, maka dia
berhak memilih di antara dua (harga) penjualan tadi, selama belum terjadi
keputusan jual-beli atas salah satu harga. Dan jika telah terjadi jual-beli
seperti ini, maka itu adala dibenci.Itulah “dua penjualan di dalam satu
penjualan”, dan itu tertolak serta terlarang. Maka jika engkau mendapati
barangmu masih utuh, engkau dapat mengambil harga yang paling rendah dan waktu
yang lebih lama. [11]
Dari sini, maka dapat disimpulkan bahwa ucapan
seseorang : “Saya jual barang ini padamu kalau kontan harganya sekian dan kalau
ditunda pembayarannya harganya sekian.” Adalah sistem jual beli yang saat ini
dikenal dengan nama jual beli kredit. [12]
Sebagian fuqoha’ juga tidak memperbolehkan jual beli
secara kredit, mereka beralasan bahwa penambahan harga itu berkaitan dengan
masalah waktu, dan hal itu tidak ada bedanya dengan riba. Pendapat lain juga
mengatakan bahwa menaikkan harga diatas yang sebenarnya adalah mendekati dengan
riba nasi’ah yaitu harga tambahan, maka itu jelas dilarang Allah Swt.
Mereka berpendapat bahwa setiap pinjaman yang diembel-embeli dengan
tambahan, maka ia adalah riba. Jadi, standarisasi dalam setiap urusan adalah
terletak pada tujuan-tujuannya. Contohnya: Seseorang memerlukan sebuah motor,
lalu datang kepada pedagang yang tidak memilikinya, seraya berkata, “ saya
memerlukan motor yang begini dan begini”. Lantas pedagang pergi dan membelinya,
kemudian menjual kepadanya secara kredit dengan harga yang lebih banyak. Tidak
dapat disangkal lagi, bahwa ini adalah bentuk pengelabuan, tersebut karena si
pedagang mau membelinya hanya karena permintaannya dan bukan membelikan
untuknya karena kasihan terhadapnya tetapi karena demi mendapatkan keuntungan,
seakan dia meminjamkan harganya kepada orang secara riba.[13]
2. Jual beli kredit diperbolehkan
Adapun pendapat jumhur ahli fiqh yang memperbolehkannya,
seperti mazhab Hanafi, Syafi’i, Zaid bin Ali, Al Muayyad Billah bahwa jual beli
yang pembayarannya di tangguhkan dan ada penambahan harga dari penjual karena
penangguhan adalah sah, karena menurut mereka penangguhan itu adalah harga,
karena mereka melihat dari dalil umum yang membolehkan, dan nash yang
mengharamkannya tidak ada, yang terpenting adalah penambahan harga pada
penangguhan tersebut adalah harga yang pantas dan sewajarnya, dan tidak adanya
unsur pemaksaan dan dholim.[14] Adapun ayat yang juga berhubungan dengan masalah kredit adalah surat
Al-Baqarah ayat 282 :
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#y‰s? Aûøïy‰Î #’n<Î) 9@y_r& ‘wK|¡•B çnqç7çFò2$$sù 4
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.[15]
Namun para ulama ketika membolehkan jual-beli secara
kredit, dengan ketentuan selama pihak penjual dan pembeli mengikuti kaidah dan syarat-syarat keabsahannya sebagai
berikut:
1. Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui
pihak penjual dan pembeli.
2. Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan
tempo pembayaran dibatasi sehingg terhindar
dari parktik bai’ gharar “bisnis
penipuan”.
3. Harga semula yang sudah
disepakati bersama tidak boleh dinaikkan lantaran pelunasannya melebihi waktu
yang ditentukan, karena dapat jatuh pada praktik riba.
4. Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli dengan
cara menaikkan harga terlalu tinggi melebihi harga pasar yang berlaku, agar
tidak termasuk kategori bai’ muththarr ‘jual-beli dengan terpaksa” yang dikecam
Nabi Saw.[16]
Firman Alloh Ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ
تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ
رَحِيمًا
Artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka diantara kamu.” [17]
Keumuman ayat ini mencakup jual beli kontan dan kredit, maka selagi jual
beli kredit dilakukan dengan suka sama suka maka masuk dalam apa yang
diperbolehkan dalam ayat ini.
Hadits Rosululloh SAW :
عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما قال : قدم
رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة والناس يسلفون في الثمر العام والعامين فقال
: من سلف في تمر فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم
Artinya: “Dari Abdulloh bin Abbas
berkata : “Rosululloh dartang ke kota Madinah, dan saat itu penduduk Madinah
melakukan jual beli buah-buahan dengan cara salam dalam jangka satu atau dua
tahun, maka beliau bersabda : “Barang siapa yang jual beli salam maka hendaklah
dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas sampai waktu yang jelas.” [18]
Pengambilan dalil dari
hadits ini, bahwa Rosululloh membolehkan jual beli salam asalkan takaran dan
timbangan serta waktu pembayarannya jelas, padahal biasanya dalam jual beli salam
uang untuk membeli itu lebih sedikit daripada kalau beli langsung ada
barangnya. Maka begitu pula dengan jual beli kredit yang merupakan kebalikannya
yaitu barang dahulu dan uang belakangan meskipun lebih banyak dari harga
kontan.
Hadits Bariroh :
عن عائشة رضي الله عنهه قالت : أن بريرة جاءت
عائشة تستعينها في كتابتها ولم تكن قضت من كتابتها شيئا فقالت لها عائشة : ارجعي
إلى أهلك فإن أحبوا أن أقضي عنك كتابتك ويكون ولاؤك لي فعلت, فذكرت ذلك بريرة
لأهلها فأبوا وقالوا إن شاءت أن تحتسب عليك فلتفعل ويكون لنا ولاؤك فذكرت ذلك
لرسول الله صلى الله عليه وسلم فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم : ابتاعي
فأعتقي فإنما الولاء لمن أعتق ثم قام رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال ما بال
أناس يشترطون شروطا ليست في كتاب الله من اشترط شرطا ليس في كتاب الله فليس له وان
شرط مائة مرة شرط الله أحق وأوثق
Artinya: “Dari Aisyah berkata : “Sesungguhnya Bariroh datang kepadanya
minta tolong untuk pelunasan tebusannya, sedangkan dia belum membayarnya sama
sekali, Maka Aisyah berkata padanya : “Pulanglah ke keluargamu, kalau mereka
ingin agar saya bayar tebusanmu namun wala’mu menjadi milikku maka akan saya
lakukan.” Maka Bariroh menyebutkan hal ini pada mereka, namun mereka enggan
melakukannya, malah mereka berkata : “Kalau Aisyah berkehendak untuk
membebaskanmu dengan hanya mengharapkan pahala saja, maka bisa saja dia
lakukan, namun wala’mu tetap pada kami.” Maka Aisyah pun menyebutkan hal ini
pada Rosululloh dan beliu pun bersabda : “Belilah dia dan merdekakanlah karena
wala’ itu kepunyaan yang memerdekakan.”
Dalam sebuah riwayat yang lain : “Bariroh berkata : “Saya menebus diriku dengan membayar 9 uqiyah, setiap tahun saya membayar satu uqiyah.”[19]
Dalam sebuah riwayat yang lain : “Bariroh berkata : “Saya menebus diriku dengan membayar 9 uqiyah, setiap tahun saya membayar satu uqiyah.”[19]
Segi pengambilan dalil : Dalam hadist ini jelas bahwa Bariroh membayarnya
dengan mengkredit karena dia membayar sembilan uqiyah yang dibayar selama
sembilan tahun, satu tahunnya sebanyak satu uqiyah.
Dalil Ijma’
Sebagian Ulama’ mengklaim bahwa dibolehkannya jual beli dengan kredit
dengan perbedaan harga adalah kesepakatan para ulama’. Di antara mereka adalah
:
a.
Syaikh Bin Baz,
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz Rahimahullah, ketika ditanya
tentang hukum membeli sekarung gula dan semisalnya dengan harga 150 Riyal SA
sampai suatu waktu (dengan kredit,-pent) dan ia senilai 100 Riyal secara
kontan, maka beliau menjawab :
“Sesungguhnya Mu’amalah ini tidaklah mengapa, karena
menjual secara kontan berbeda dari menjual secara kredit dan kaum muslimin
terus menerus melakukan mu’amalah seperti ini. Ini adalah Ijma’ (kesepakatan)
dari mereka tentang bolehnya. Dan telah syadz (ganjil/bersendirian) sebagian ulama,
bila ia melarang adanya tambahan disebabkan karena (tambahan) waktu sehingga ia
menyangka hal tersebut adalah bagian dari riba. Ia adalah pendapat tidak ada
sisinya, bahkan tidaklah (hal tersebut) termasuk riba sama sekali karena
seorang pedagang ketika ia menjual barang sampai suatu waktu (dengan kredit),
ia menyetujui adanya penangguhan hanyalah karena ia mengambil manfaat dengan
tambahan (harga) dan si pembeli rela adanya tambahan karena ada pengunduran dan
karena ketidakmampuannya untuk menyerahkan harga secara kontan maka keduanya
mengambil manfaat dengan mu’amalah ini dan telah tsabit (pasti/tetap) dari Nabi
shollallahu ‘alahi wa sallam sesuatu yang menunjukkan bolehnya hal tersebut…”. [20]
b. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah Rahimahullah
Beliau ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki
seekor kuda yang dia beli dengan harga 180 Dirham, lalu seseorang memintanya
dengan harga 300 Dirham dalam jangka waktu (pembayaran) tiga bulan; apakah hal
tersebut halal baginya.
Beliau menjawab :
“Al-Hamdulillah, Apabila ia membelinya untuk diambil manfaatnya atau untuk ia
perdagangkan maka tidaklah mengapa menjualnya sampai suatu waktu (dengan
kredit,-pent). Akan tetapi janganlah ia mengambil keuntungan dari orang yang
butuh kecuali dengan keuntungan yang wajar. Jangan ia menambah (harga) karena
daruratnya (karena ia sangat membutuhkannya,-pent.). [Adapun kalau ia butuh
dirham lalu membelinya (kuda tersebut, -pent.) untuk ia jual pada saat itu juga
dan ia mengambil harganya maka ini adalah makruh menurut (pendapat) yang paling
zhohir dari dua pendapat ulama](1)”. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah menukil bolehnya hal tersebut berdasarkan Al-Kitab,
As-Sunnah dan Al-Ijma’.[21]
c. Syaikh Muhammad Sholih Al Utsaimin
Beliau berkata dalam Al Mudayanah hal : 4 :
“Macam-macam hutang piutang :
·
seseorang membutuhkan untuk membeli barang namun dia tidak mempunyai uang
kontan, maka dia membelinya dengan pembayaran tertunda dalam tempo tertentu
namun dengan adanya tambahan harga dari harga kontan. Ini diperbolehkan.
Misalnya : Seseorang membeli rumah untuk ditempati atau untuk disewakan seharga
10.000 real sampai tahun depan, yang mana seandainya dijual kontan akan seharga
9.000 real, atau seseorang membeli mobil baik untuk dipakai sendiri atau
disewakan seharga 10.000 real sampai tahun depan, yang mana harga kontannya
adalah 9.000 real. Masalah ini tercakup dalam firman Alloh Ta’ala :
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian berhutang piutang sampai
waktu tertentu, maka catatlah.”[22]
·
Seseorang membeli barang dengan pembayaran
tertunda sampai waktu tertentu dengan tujuan untuk memperdagangkannya. Misal
seseorang membeli gandum dengan pembayaran tertunda dan lebih banyak dari harga
kontan untuk menjualnya lagi ke luar negeri atau untuk menunggu naiknya harga
atau lainnya, maka ini diperbolehkan karena juga tercakup dalam ayat terdahulu.
Dan telah berkata Syaikhul islam Ibnu Taimiyah tentang dua bentuk ini adalah
diperbolehkan berdasarkan Al Kitab, as sunnah dan kesepakatan ulama’ (4) (Lihat
Majmu’ Fatawa 29/499).”
d. Ibnu Rusdy
Beliau memberi contoh jual
beli sistem kredit (bai’u al-ajal)
seperti: seorang menjual barang dengan harga tertentu sampai masa tertentu,
kemudian ia membelinya kembali dengan harga lain sampai masa tertentu yang lain
lagi, atau dengan harga kontan. Sehubungan dengan adanya perubahan waktu itu
harga bisa berubah. Ia membelinya dengan cash
(kontan) sebelum masanya dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang
sebenarnya, atau membelinya dengan harga yang telah jauh dari pada masa
tersebut dan dengan harga yang lebih besar dari pada yang sebenarnya. [23]
Dalil qiyas
Sebagaimana yang telah lewat bahwasannya jual beli kredit ini dikiaskan
dengan jual beli salam yang dengan tegas diperbolehkan Rosululloh, karena ada
persamaan, yaitu sama-sama tertunda. hanya saja jual beli salam barangnya yang
tertunda, sedangkan kredit uangnya yang tertunda. Juga dalam jual beli salam
tidak sama dengan harga kontan seperti kredit juga hanya bedanya salam lebih
murah sedangkan kredit lebih mahal.
Dalil Maslahat
Jual beli kedit ini mengandung maslahat baik bagi penjual maupun bagi pembeli.
Karena pembeli bisa mengambil keuntungan dengan ringannya pembayaran karena
bisa diangsur dalam jangka waktu tertentu dan penjual bisa mengambil keuntungan
dengan naiknya harga, dan ini tidak bertentangan dengan tujuan syariat yang
memang didasarkan pada kemaslahatan ummat. Berkata Syaikh Bin Baz disela-sela
jawaban beliau mengenai jual beli kredit :
“Karena seorang pedagang yang menjual barangnya secara berjangka
pembayarannya setuju dengan cara tersebut sebab ia akan mendapatkan tambahan
harga dengan penundaan tersebut. Sementara pembeli senang karena pembayarannya
diperlambat dan karena ia tidak mampu mambayar kontan , sehingga keduanya
mendapatkan keuntungan.” [24]
C. Fatwa para ulama’ seputar jual beli kredit
Ini adalah nukilan pendapat fuqoha’ madhab empat juga para ulama’
kontemporer mengenai masalah ini :
1. Fiqh Hanafiyah
Harga bisa dinaikkan karena penundaan waktu. Penjualan kontan dengan kredit
tidak bisa disamakan. Karena yang ada pada saat ini lebih bernilai dari pada
yang belum ada. Pembayaran kontan lebih baik dari pada pembayaran berjangka.[25]
Dalam Hasyiyah Ibnu Abidin 5/142 :
“Bisa saja harga ditambahkan karena penundaan pembayaran.”[26]
2. Fiqh Malikiyah
Berkata Imam Asy
Syathibi :
“Penundaan salah satu alat tukar bisa menyebabkan pertambahan harga.”
[27]
Imam Az Zarqoni menegaskan
:
“Karena perputaran waktu memang memiliki bagian nilai,
sedikit atau banyak, tentu berbeda pula nilainya. [28]
3. Fiqh Syafi’iyah
Imam Asy Syirozi berkata
:
“Kalau seseorang membeli sesuatu dengan pembayaran
tertunda, tidak perlu diberitahu harga kontannya, karena penundaan pembayaran
memang memiliki nilai tersendiri.”[29]
4. Fiqh Hanbali
Imam Ibnu Taimiyah berkata :
“Putaran waktu memang memiliki jatah harga.” [30]
Lajnah Daimah tatkala ditanya
tentang seseorang yang menjual mobil dengan sistem kredit yang dengan
tertundanya pembayaran akan ada tambahan harga, namun juga akan semakin
bertambah dengan semakin mundurnya pembayaran dari waktu yang telah ditentukan.
Apakah transaksi ini boleh ataukah tidak ?
Jawab :
Jika menjual mobil tersebut dengan sistem kredit, dilakukan dengan harga
yang jelas, sampai waktu yang jelas, yang tidak ditambah harga lagi kalau
membayarnya lebih dari batas waktu yang ditentukan, maka transaksi itu tidak
mengapa. Sebagaimana firman Alloh Ta’ala : “Wahai orang-orang yang beriman,
apabila kalian berhutang sampai waktu tertentu, maka tulislah.” Juga yang telah
shohih dari Rosululloh bahwasannya beliau pernah membeli sesuatu sampai waktu
tertentu. Adapun kalau si kreditor itu harus menambah harga apabila terlambat
membayarnya dari waktu yang ditentukan, maka hal ini tidak diperbolehkan dengan
kesepakatan ummat islam, karena itulah riba jahiliah yang dilarang oleh Al
Qur’an, yaitu ucapan mereka kepada yang berhutang padanya : “Kamu mungkin bisa
melunasi hutang itu atau kamu tambah lagi bayarannya.” [31]
Beberapa hal yang
berkaitan dengan jual beli kredit, Ada beberapa hal yang erat kaitannya dengan
jual beli kredit, kita sebutkan yang kami anggap paling penting : Jual beli
kredit harus dengan barang dan harga yang jelas serta waktu pembayaran yangjelas.
Sebagaimana nash Rosululloh dalam masalah salam :
Sebagaimana nash Rosululloh dalam masalah salam :
“Barang siapa yang jual beli salam maka hendaklah
dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas sampai waktu yang jelas.”[32]
Kalau tidak ada kejelasan
dalam sistem kredit, maka transaksi menjadi haram karena ada unsur jahalah
(ketidak jelasan dalam sebuah transaksi).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jual beli kredit berasal dari
kata yaitu jual beli dan kredit. Jual beli dalam
pengertian istilah adalah pertukaran harta dengan harta untuk tujuan memiliki
dengan ucapan ataupun perbuatan. Dan
kredit (sell or buy on credit/installment) dalam bahasa Arabnya disebut Bai’
bit Taqsith yang pengertiannya menurut istilah syari’ah, ialah menjual sesuatu
dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu,
dan lebih mahal daripada pembayaran kontan/tunai. Kredit berasal dari bahasa Yunani “ credere” yang berarti kepercayaan akan
kebenaran dalam praktek sehari – hari. Kredit juga
berasal dari kata Itali, cedere yang
berarti kepercayaan. Menurut UU No. 7 Tahun
1992 tentang pokok-pokok Perbankan, pengertian kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjaman-pinjaman antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan. Bank yang berpedomannya
adalah memperoleh hasil yang setinggi-tingginya dari uang yang dipinjamkan
tanpa mempersoalkan penggunaan kredit yang diberikannya.
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum jual beli
kredit yang ada pada zaman ini menjadi dua pendapat, yaitu : jual beli kredit
yang diharamkan, didukung dari pendapat dari kalangan ulama’ kontemporer
adalah Imam Al Albani yang beliau cantumkan dalam banyak kitabnya,
diantaranya Silsilah Ahadits Ash Shohihah 5/419-427 juga murid beliau Syaikh
Salim Al Hilali dalam Mausu’ah Al Manahi Asy Syar’iyah 2/221 dan juga
lainnya. Dan jual beli yang dibolehkan pendapat jumhur ahli fiqh yang
memperbolehkannya, seperti mazhab Hanafi, Syafi’i, Zaid bin Ali, Al Muayyad
Billah bahwa jual beli yang pembayarannya di tangguhkan dan ada penambahan
harga dari penjual karena penangguhan adalah sah, karena menurut mereka
penangguhan itu adalah harga, karena mereka melihat dari dalil umum yang
membolehkan, dan nash yang mengharamkannya tidak ada, yang terpenting adalah
penambahan harga pada penangguhan tersebut adalah harga yang pantas dan
sewajarnya, dan tidak adanya unsur pemaksaan dan dholim.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan terjemahannya.
Al-Fauzan, Saleh, Fiqh Sehari-Hari, Gema Insani: Jakarta,
2006.
Ali Hasan, M., Masail
Fiqhiyah: Zakat. Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003.
Ahmkamul Ba’I disusun oleh Syaikh Jarulloh hal : 58, yang diambil dari http://jacksite.wordpress.com/2007/06/19/hukum-jual-beli-kredit-dalam-islam/
Aibak, Kutbuddin, Kajian
fiqh kontemporer, Yogyakarta: teras, 2009, hlm. 216. Dilihat dari
http://cupitakyt.blogspot.com/2013/05/masailul-fiqhliyah-kredit-dan-bunga-bank.html.
Anwar Iqbal
Qureshi, Islam dan Teori Pembungaan Uang,
Tintamas: Jakarta, 1985.
Badai’ush Shona’I 5/18, yang diambil dari
http://jacksite.wordpress.com/2007/06/19/hukum-jual-beli-kredit-dalam-islam/
http://imdad-gresik.blogspot.com/2010/07/hukum-kredit-dan-kartu-kredit-menurut.html.
http://jacksite.wordpress.com/2007/06/19/hukum-jual-beli-kredit-dalam-islam/.
Fatwa Lajnah Daimah 13/154, http://adh-dhuhaa-bjacks.blogspot.com/.
Malik Bin Anas, Muwathta’ jilid
4,.......
Rusdy, Ibnu, Bidayatul
Mujtahid, terj. M. A. Abdurrahman, A. Haris Abdullah ,Semarang: CV.
Asy-Syifa, 1990
Simorangkir, O.P., Pengantar
Lembaga Keuangan Bank Dan Non Bank, Cet. II, Bogor: Ghalia, 2004.
S.P. Hasibuan, Malayu, Dasar-Dasar
Perbankan, Cet. VI, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali, 2010.
Syarah Majalah al-Ahkam, no 157, vol
III/110, Majallah asy-Syari’ah wad Dirasah Al-Islamiyah, Fak Syari’ah, Kuwait
University, edisi VII, Sya’ban 1407, hal. 140, Al-Maurid, hal. 354, Lisanul
‘Arab, vol VII/377-378, melalui artikel di situs Eramuslim.com.
Tafsir Al Qurthubi, jilid 3.
[1] QS. Al
Baqarah, 2 : 275.
[2] Saleh
Al-Fauzan, Fiqh Sehari-Hari, Gema
Insani: Jakarta, 2006, hlm.
[3] Syarah Majalah
al-Ahkam, no 157, vol III/110, Majallah asy-Syari’ah wad Dirasah Al-Islamiyah,
Fak Syari’ah, Kuwait University, edisi VII, Sya’ban 1407, hal. 140, Al-Maurid,
hal. 354, Lisanul ‘Arab, vol VII/377-378, melalui artikel di situs
Eramuslim.com.
[5] O.P.
Simorangkir, Pengantar Lembaga Keuangan
Bank Dan Non Bank, Cet. II (Bogor:
Ghalia, 2004), hal. 100. Malayu S.P. Hasibuan, Dasar-Dasar Perbankan, Cet. VI (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007),
hal. 87.
[6]Ibid,
hal. 101. Menurut Thomas Suyatno, 1998, menjelaskan bahwa Kredit adalah penyediaan
uang, atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan pinjam-meminjam antara bank dan lain pihak dalam hal, pihak
peminjam berkewajiban untuk mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam beserta
bunganya sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan pendapat lain menyatakan kredit
bank adalah semua realisasi pemberian kredit dalam bentuk rupiah maupun valuta
asing kepada pihak ketiga serta pembelian surat berharga. Sedangkan dalam
terminologi Indonesia, kredit diartikan sebagai pinjaman uang dengan pembayaran
pengembalian secara mengangsur. http://jacksite.wordpress.com/2007/06/19/hukum-jual-beli-kredit-dalam-islam/.
[9] HR. Abu Dawud
3461, Hakim 2/45 dengan sanad hasan.
[10]
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam "Al-Mushannaf
(VI/120/502)", Abu Daud dari Ibnu Abi Syaibah (no. 3461), Ibnu Hibban di
dalam "Shahihnya (1110)", Al-Hakim (II/45), dan Al-Baihaqi (V/343)
kesemuanya meriwayatkan bawha telah becerita kepada kami Ibnu Abi Zaidah dari
Muhammad bin Amir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah secara marfu, sanadnya
hasan, bahkan telah dishahihkan oleh Al-Hakim, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi,
juga oleh Ibnu Hazm di dalam "Al-Muhalla (IX/16). Juga diriwayatkan oleh
An-Nasa'i (VII/296, cetakan baru), At-Tirmidzi (I/232), dia menshahihkannya,
Ibnul Jarud (286), Ibnu Hibban (1109), Al-Baghawi di dalam "Syarh
As-Sunnah (VIII/142/211)", ia juga menshahihkannya, Ahmad (II/342, 375,
503) dan Al-Baihaqi dari beberapa jalan dari Muhammad bin Amr dengan lafazh :
"Beliau melarang dua (harga) penjualan di dalam
satu penjualan" diambil dari http://jacksite.wordpress.com/.
[11]Diriwayatkan oleh Abdur Razaq (14632)
dari Sufyan Ats-Tsauri.
[12]
http://imdad-gresik.blogspot.com/2010/07/hukum-kredit-dan-kartu-kredit-menurut.html.
[13] M. Ali Hasan, Masail
Fiqhiyah: Zakat. Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003), hlm. 172.
[14] . Ali Hasan, Masail
Fiqhiyah: Zakat. Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, hlm.169
Imam Al Qurthubi menerangkan :
“Artinya, kebiasaan masyarakat Madinah melakukan jual beli salam adalah
penyebab turunnya ayat ini, namun kemudian ayat ini berlaku untuk segala bentuk
pinjam meminjam berdasarkan ijma’ ulama’.” Lihat Tafsir Al Qurthubi 3/243.
[16] Kutbuddin Aibak, Kajian
fiqh kontemporer, Yogyakarta: teras, 2009, hlm. 216. Dilihat dari http://cupitakyt.blogspot.com/2013/05/masailul-fiqhliyah-kredit-dan-bunga-bank.html.
[22]
QS. Al Baqoroh : 282.
[23]
Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid, terj.
M. A. Abdurrahman, A. Haris Abdullah (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1990), hal.
32-37, Jilid: III.
[24]Ahmkamul Ba’I disusun
oleh Syaikh Jarulloh hal : 58, yang diambil dari
http://jacksite.wordpress.com/2007/06/19/hukum-jual-beli-kredit-dalam-islam/
[25] Lihat Badai’ush Shona’I
5/18, yang diambil dari http://jacksite.wordpress.com/2007/06/19/hukum-jual-beli-kredit-dalam-islam/
[26]
http://adh-dhuhaa-bjacks.blogspot.com/.
[28]
Lihat Hasyiyah Az Zarqoni
3/165, diambil melalui http://adh-dhuhaa-bjacks.blogspot.com/.
[30]Majmu’ Fatawa 19/449,
diambil melalui http://adh-dhuhaa-bjacks.blogspot.com/.
[32] HR. Bukhori 2241, Muslim 1604